Upacara Pembuatan Rumah Adat Etnis Ngada
Setelah kita membaca di artikel : upacara adat bajawa sekarang kita akan membahas tentang Upacara pembuatan rumah adat etnis Ngada. Upacara tau sa’o sampai ka sa’o dilalui beberapa tahap yaitu :
• Zepa Zepa Kolo : mempersiapkan alat ukur yang terbuat dari bilah-bilah bambu (kolo), untuk digunakan pada saat mencari bahan-bahan sa’o. Kolo dibuat sebanyak 2 (dua) batang yang satu disebut Kolo Dongo dan Kolo Loza. Kolo Loza berfungsi untuk dibawa ke setiap tempat untuk mengukur bahan sa’o yang dipotong dan Kolo Dongo akan tetap berada di rumah (sa’o) pu’u sebagai antisipasi bila terjadi sesuatu dengan kolo loza misalnya hilang atau patah.
• Ka Kolo/Basa Mata Taka Upacara yang dilakukan sebagai awal dari proses pembuatan rumah adat. Acara ini dilakukan setelah epa (mengukur ukuran rumah) yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan meminta dampingan pada Tuhan dan leluhur bagi peralatan yang akan digunakan dalam bekerja di hutan selama pencaraian material/ramuan pembuatan rumah adat. Dalam acara ini biasanya dilakukan acara penyemelihan hewan kurbn (ayam/babi) dan dilihat hatinya sesuai dengan kebiasaan untuk melihatn urat dari hati hewan kurban yang dkurbankan. Acara ini biasanya dipimpin oleh ketua suku atau orang yang dituakan dalam suku. Dalam acara akan dihadiri oleh seluruh ana sao dan ana woe guna mendukung pencarian material rumah dan proses pembangunan rumah selanjutnya.
• Gebhe Puu Kaju Setelah semua bahan (material) rumah selesai didapat/terkumpul maka akan dilakukan acara pembasmian tunas-tunas kayu yang kayunya telah diambil untuk materila rumah adat baru. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha bahwa pohon yang telah diambil untuk material rumah tumbuh(bertunas) maka akan membawa sial bagi penghuni dan ana sa’o (anggota rumah/suku).
• Bama Ngaru Kaju Ngaru dipahami sebagai roh yang hidup. Hal ini dikaitkan dengan semua bahan sa’o yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku/anggota sa’o yang akan dibangun karena datangnya bahan sa’o dari berbagai tempat menuju tempat persiapan akhir pembangunannya dianggap sebagai datangnya para leluhur yang telah diundang oleh anggot suku lewat berbagai upacara dari setiap tahapan yang telah dilakukan.
• Weti Weti adalah proses untuk memahat atau relief atau simbol-simbol tradisional orang Ngadha. Adapun beberapa relief untuk membuat motif/gambar pada penampang Ngadhu, Bhaga dan sa’o yakni :
Manu (ayam) : melambangkan kelantangan akan kenyataan dan kebenaran. Hal ini dimaksudkan bahwa semua pemilik sa’o atau anggota suku harus berani menyuarakan kebenaran dengan jujur dan lantang seperti apa yang disebut dengan istilah Kako moe manu jago.
Jara (kuda) : melambangkan kekuatan/keperkasaaan sekalihus kelantangan yang senantiasa mendorong para anggota suku untuk terus berusaha membangun sukunya guna menuju kejayaan bersama yang disebut dengan itilah Ie moe jara ngai. Selain itu gambr kuda (jara) juga menggambarkan kekuatan para leluhur yang selalu melindungi para anggota suku atau anggota rumah tersebut. Bila dicermati secara seksama, penampilan gambar kuda dan ayam biasanya menghadap ke dalam sa’o. Dalam hubungannya dengan konsep kejujuran, kebenaran dan kebersihan, maka posisi gambar seperti ini sebenarnya mau menceritakan bahwa segala sesuatu yang buruk yang akan mengganggu persatuan dan kesatuan dalam suku harus ditendang dan disingkirkan untuk tetap melahirkan kebaikan bersama. Pengertian ini senantiasa tergambar dalam ungkapan : gai ne’e wai pali, viki wi nono dhiri, lina wi pia kisa, modhe wi kono one.
Zegu Kaba (tanduk kerbau) : melambangkan kekayaan terutama hewan besar yang dimiliki oleh suku. Pembuktian akan kekayaan suku itu biasanya tampak pada jumlah hewan khususnya kerbau yang dikorbankan pada saat pelaksanaan pesta sa’o yakni ka sa’o. Pada jaman dulu, kekayaan ini juga dibuktikan dengan jumlah hewan yang banyak dan padang gembala suku (kuru kaba/kopo kaba).
Taka dan Bela : adalah perhiasan telingan yang terbuat dari emas, perbedaannya pada ukuran dan peruntukannya. Taka berukuran lebih besar dan biasa dipakai oleh kaum bangsawan laki-laki, sedangkan Bela berukuran lebih kecil dan hanya dipakai oleh kaum wanita. Baik taka maupun bela melambangkan kekayaan khususnya emas yang dimiliki anggota suku.
Tara Tawu/Kisa nata :
Melambangkan perkembangan manusia yang bermula dari sepasang leluhur.
• Torengan/Nuka Nua Nuka nua adalah tahapn atau proses membawa semua material sa’o dari tempat persiapan akhir menuju ke dalam kampung, bersama seluruh penghuni kampung yang diiringi dengan tarian Kelo ghae, Go Laba dan Jai dengan mengintari seluruh pelataran kampung dan kemudian menuju tempat sa’o yang telah dipersiapkan secara baik.
• Tere Leke/Tere Pudha Basa Leke : setelah mengelilingi kampung dalam acara roa dhea, maka dilanjutkan dengan acara Mate Ngana Basa Leke yaitu pengorbanan hewan korban (babi) dalam rangka menyucikan semua meterial sa’o yang akan dibangun terutama leke sebagai bahan dasar sekaligus pemberian makan kepada leluhur.
Mula Lekei : adalah pemasangan tiang sa’o (leke) sebanyak 4 (empat) buah yang terbuat dari kayu hebu dengan bantuan alat ukur yang terbuat dari bambu yang disebut Suru Nuba. Sebelum leke-leke dipancangkan pada tempatnya masing-masing terlebih dahulu dibasuh dengan darah babi korban yang sudah didoakan dalam acara mate ngana.
Se’a Tenga : Tenga adalah balok besar penghubung antar leke. Se’a tenga leke adalah pemasangan balok besar (tenga) untuk menghubungkan atau mengikat antar leke.
Dolu/fedhi wae/dolu wae : menentukan rata atau tidaknya leke yang telah dipasang dengan mericiki air pada pertengahan tenga, bila jatuhnya atau mengalirnya air tegak lurus dari atas ke bawah berarti posisi leke dan tenga yang telah dipasang sudah pas.
Soka Leke : Soka leke pada dasarnya adalah sebuah maklumat atau pernyataan dari para pemilik sa’o atau anggota suku kepada khalayak tentang kesanggupan anggota suku serta proses yang telah dilalui sesuai dengan tahapan-tahapan dalam membangun sa’o mereka.
• Remi Ube/Kobo Ube Pemasangan ube sa’o secara keseluruhanselain pintu atau pene sa’o dengan urutan sebagai berikut : Ulu-wewa , kemo-pali (belakang-depan, kiri-kanan). Ulu-wewa melambangkan mama atau induk yang melahirkan, sedangkan kemo-pali melambangkan anak yang dilahirkan karena itu sebagai mama harus dipasang terlebih dahulu sebelum anak.
• Wa’e Sa’o Gebhe yiru (loteng) adalah bambu-bambu khusus dengan kualitas baik yang dipasang untuk menghubungkan tudhi dhoi dan berfungsi sebagai tempat pijakan lado lewa (tiang nok) sa’o. Kualitas baik dari tudhi dhoi harus ditentukan oleh beberapa persyaratan sebagai erikut : bambu harus berumur tua dan berukuran besar pada kedua ujungnya harus tepat pada buku yang dikenal dengan istilah luki buku pali, keadaan bambu tidak boleh retak atau pecah dan harus dicari oleh orang kepercayaan dalam suku yang menjadi panutan dan tidak bercela dalam segala segi kehidupannya. Hal ini memiliki makna bahwa sa’o yang dibangun merupakan personifikasi leluhur yang penuh dengan segala kebesaran dan keagungan yang sering digambarkan dengan istilah ghubu meze wolo (atap bagaikan gunung) menjadi tidak tercela. Dengan kata lain kesucian, keperkasaan dan keagungan para leluhur perlu terus dijaga dan diwariskan sampai ke anak cucu. Pemasangan tiang nok (lado lewa) yang akan memberikan warna atau bentuk secara keseluruhan terhadap atap (ghubu) sa’o. Keagungn ghubu sa’o yang dikenal dengan istilah ghubu mewe wolo sangat dientukan oleh tinggi rendahnya lado lewa yang dipasang. Semakin tingginya lado lewa yang dipasang yang tentunya disesuaikan dengan besar kecilnya badan sa’o maka secara lahiriahpun sa’o akan kelihatan semakin angun. Pali redhi adalah bilah-bilah bambu berukuran sedang dan kuat yang dipasang secara menyilang pada sisi depan dan belakang lado lewa yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan posisi atap.
Sok soku dolu adalah balok-balok huk berupa bambu-bambu berukuran sedang yang tua dan kuat yang dipasang pada ke-4 sudut sa’o dengan posisimengerucut dengan ujung-ujung bertemu pada ujung kiri dan kanan atas dari lado lewa
Teo zo adalah bambu-bambu bulat yang ukurnnya sedikit lebih besar dari soku dolu dipasang pada ujung ke-4 soku dolu dengan menghubungkan satu sama lain. Teo zo selain berfungsi sebagai perekat soku dolu satu sama lain juga berfungsi sebagai landasan pijak Soku Bhoda.
Soku bhoda adlah bambu-bambu bulat berukuran lebih kecil dari sou dolu yang dipasang secara merata pada semua sisi atap di antara soku-soku dolu dengan jarak 5-10 yang berfungsi sebagai landasan dasar dari alang-alang (keri).
Soku Paba adalah bilah-bilah bambu yang dipasang secara melintang di luar dari soku boda dan soku dolu yang diperkuat dengan tali-tali ijuk dan berfungsi sebagai tempat tambatan alang-alang (keri).
Walu soku adalah saat-saat senggang menjelang tahapan mengatapan sa’o (sewo Sa’o) khususnya pada malam hari yang selalu diisi dengan atraksi tarian hiburan Teke. Teke adalah tarian masal dan lagu yang berisikan syair-syair tentang kondisi atau berbagai hal yang berhubungan dengan suku yang sedang membangun sa’o tersebut. Teke dibagi dalam 2 bagian yaitu bagian pembukaan disebut Kelo ghae.
Pelapisan bubungan sa’o dengan alang-alang sebanyak 30 ikat yang dikenal dengan sebutan Peju zeta nedhu uju bulu telu. Angka 30 merupakan simbol dari 3 tahapan kehidupan manusia yang memberikan harapan dan semangat yakni anak-anak, rmaja dan dewasa sebagai puncak kejayaan hidup manusia. Dalam pembangunan sebuah sa’o khususnya sa’o yang bernama, kedewasaannya selain digambarkan melalui simbol ini juga ditampilkan melalui gambar atau ukiran yang terpampang di dalam sa’o seperti kuda dan ayam baik pada kawa pere, ube ataupun pada ngani lewa. Untuk kedewasaan sebuah sa’o yang berkaitan dengan ukiran-ukiran juga simbol 30 yang telah dikemukakan di atas terdapat ungkapan sebagai berikut : Dia sadho ga Inerie, Leba gha suri laki. Kako gha moe manu jago, Ie ga sama jara ngai.
• Tege Sua Sa’o dan Kawa Pere Tahapan ini adalah proses lanjut yg dilaksanakan setelah pembangunan atap rumah selesai yakni memasukkan symbol-simbol penting yang merupakan lambing dan identitas rumah yakni Sua Sa’o (lambang hak atau yang disebut juga dengan sertifikat tradisional) dan Kawa Pere (lambang kebesaran, kewibawaan sesuai dengan status rumah adat di dalam sebuah suku).
• Ka Sa’o Acara puncak sebagai pentabisan rumah adat yang baru sebagai pertanda bahwa rumah adat ini dinyatakan sehat seseuai dengan ketentuan adat untuk dihuni oleh Ana Sa’o. Pada acara ini biasanya dipentaskan tarian jai Laba Go dan diikuti dengan penyembelihan kerbau dan babi.
Tahapan ini akan dihadiri oleh semua Ana Woe, Wai Laki, Lobo Tozo tara dhaga kerabat dan hubungan perkawinan.
5. Upacara Pembuatan Ngadhu dan Bhaga
• Pai tibo taki laza Ngadhu
Dimulai dari loka tiga sewu untuk merencanakan dalam rangka pembuatan Ngadhu dan tempatnya di rumah pokok yaitu upacara Pai Tibo untuk menentukan pohon hebu mana yang akan diambil guna dijadikan btang Ngadhu.
• Taki hebu
Gedho lako sebuah tahapan yang dilakukan setelah upacara pai tio yakni beberapa orang dari anggota diutus ke hutan untuk mencari pohon hebu. Setelah mendapat hebu yang ditunjuk oleh tibo akan ditandai dengan pei wako/gelaga guna menandai bahwa pohon tersebut telah menjadi incaran suku yang bersangkutan.
• Ida Manu Nio Idi tua manu/membawa moke dan ayam kepada pemilik tanah yang ditumbuhi pohon hebu dan po’o (memasak nasi bambu) dengan ramuan yakni kelapa merah, babi merah, beras merah sebagai persembahan kepada leluhur baik leluhur kita maupun leluhur dari pemilik pohon hebu.
• Pebhe telo dan Paga gala ga’e Pebhe telo dan Pega gala ga’e/Bhuja Kawa adalah proses lanjutan dari proses di atas. Bhuja Kawa akan dipegang oleh orang yang berasal dari sa’o wua ghao dan keluar dari rumah pokok suku yakni Sa’o Peka Pu’u. Hal ini juga merupakan hasil yang dicapai melalui kesepakatan dari dalam anggota suku. Upacara ini ditandai dengan penyembelihan hewan kurban sebelum kelur dari rumah adat dan dagingnya dimakan bersama, adapun hewan kurban yang dibantai adalah babi dan ayam. Pemegang Bhuja Kawa akan keluar dari rumah dan diikuti oleh peserta dari Sa’o Saka/Peka Puu dan Peka Lobo beserta One Woe.
Pebhe tlo/Pega gala Ga’e/Bhuja Kawa adalah ritual pengesahan secara simbolis untuk menandai pohon Hebu (bakal material batang Ngadhu) menjadi milik bagi woe (suku) yang bersangkutan.
• Kela Nio
Kela Nio adalah upacara untuk membelah kelapa yng airnya diyakini dapat memberikan kesejukan bagi roh leluhur yang telah diundang kehadirannya ke dalam pohon Ngadhu. Dengan tahapan ini masyarakat budaya Ngadha berkeyakinan bahwa pohon yang akan digunakan dalam pembangunan Ngadhu menjadi tempat yang sejuk dan sebagai wadah hunian yang nyaman bagi roh Yang Maha Kuasa dan leluhur.
• Pai Tibo Taki Weki
Adalh suatu upacara khusus untuk menetukan orang yang saka Ngadhu yakni orang yang berperan sebagai ana koda (nakoda) yang mna orang yang terpilih melalui petunjuk ritual tibo ini akan berlaku sebagai penunggang pada saat batang Ngadhu digotong ke dalam kampung. Orang-orang tersebut adalah orang pilihan yangmana dalam pengambilan perannya tidak asal-asalan agar tidak membawa petaka bagi mereka. Mereka yang berperan untuk saka Ngadhu adalah generasi yang memiliki garis lurus dari penghuni Peka/saka pu’u dan penghuni peka/saka lobo. Kriteria orang yang akan saka Ngadhu adalah harus orang berkasta/rang Ga’e atau apabila tidak ada yang orang Ga’e maka akan dimabil dari orang kasta Ga’e Kisa.
• Pogo Ngadhu
Pogo ngadhu adalah tahapan upacara untuk pembuatan Ngadhu selanjutnya yaitu untuk penggalian dan penebangan kayu untuk membangun Ngadhu yang telah didapat melalui petunjuk tibo. Penggalian biasanya diawali dengan gong gendang mulai dari tempat berangkat sampai pada tempat pohon Ngadhu akan digali. Adapun cara penggalian harus disertai dengan 3 (tiga) cabang akar dan kayu tersebut harus bercabang dua. Dalam penggalian akan dilakukan penyembelihan hewan kuran yakni babi dan ayam untuk persembahan kepada Yang Maha Kuasa dan leluhur.
• Gebhe Pu’u Ngdhu
Setelah pohon Hebu (material pembuat batang Ngadhu) selesai digali maka akan dilakukan acara pembasmian tunas-tunas kayu yang dimana kayunya telah diambil untuk materila Ngadhu yang baru. Pembasmian ini berkaitan dengan kepercayaan orang Ngadha apabila pohon yang telah diambil untuk materila rumah tumbuh (bertunas) maka akan membawa sial bagi ana woe (anggota suku).
• Bama Ngaru Ngadhu
Ngaru dipahami sebagai roh yng hidup, hal ini dikaitkan dengan semua pencarian dan pogo Ngadhu yang telah disakralkan sebagai perwujudan atau personifikasi leluhur para anggota suku dari Ngadhu yang akan dibangun karena datangnya pohon Ngadhu dari hutan menuju tempat persiapan akhir pembangunannya dianggap sebagai datangnya leluhur laki-laki yang telah diundang oleh anggota suku lewat berbagai upacara dari setiap tahapan yang telah dilakukan.
• Weti Ngadhu
Proses pemahatan (weti) untuk pembuatan ukiran pada batang Ngadhu akan dilakukan setelah tiba di empat yang ditentukan (sebelum masuk kampung).persyaratan dalam pengukiran Ngadhu yakni terdiri dari 3 (tiga) penampang Nay telu Wutu hemo. Lamanya proses pengukiran disesuaikan dengan persyaratan yakni satu hari satu penampang. Penjelasan arti dari motif ukiran yang akan dipahatkan pada Ngadhu adalah sama dengan motif ukiran yang dipahat pada penampang Sa’o (Rumah adat).
• Koe Gemo/Hoa Ngadhu
Koe Hoa Ngadhu adalah tahapan lanjutan yaitu menggali guna mempersiapkan lubang untuk mengisi pangkal pohon Ngadhu. Dalam penggalian bentuk lubangnya harus disesuaikan dengan bentuk akarnya.
• Bhei Ngadhu Nuka Nua
Bhei Ngadhu adalah upacara menggotong Ngadhu yang telah diukir di luar kampung untuk memasuki kampung. Ngadhu digotong beramai-ramai oleh semua ana woe (anggota suku) yang disaksikan oleh seluruh isi kampung. Di atas batang Ngadhu yang digotong akan ditunggangi oleh 2 (dua) orang yang sesuai dengan petunjuk tibo yang telah dibuat sebelumnya atau orang yang berperan sebagai Saka Ngadhu (Saka Pu’u dan Saka Lobo). Ngadhu yang dipikul/digotong tersebut akan ditaruh di samping bhaga atau tempat akan dibangunnya lambang perempuan.
Pada upacara ini dimeriahkan dengan tari-tarian yang diiringi musik tradisional (Laba Go) dan tarian Soka Ngadhu yang ditutup dengan penyembelihan hewan kuran babi dan ayam untuk persembahan kepada leluhur dan Yang Maha Kuasa.
• Mula Ngadhu
Mula/Pusi Ngadhu adalah tahapan untuk memasukan pangkal Ngadhu ke dalam lubang yang telah disiapkan. Penanaman Ngadhu didahului dengan memasukan anjing merah, babi merah, ayam merah dan beras merah ke dalam cabang-cbang lubang yang telah disiapkan, hal ini adalah simbol untuk memelihara kelangengan usaha One woe (anggota suku) yangakan dijaga oleh roh leluhur yang akan dibangun (ngadhu). Pada pangkal batang Ngadhu (Pu’u Ngadhu) ada batu-batu yang akan disusun secara rapi berbentuk lingkaran sebagai simbol persatuan anggota suku (One woe) yng saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Persatuan yang diwujudkan dengan kumpulan batu ini dilukiskan dengan ungkapan adat yang menggambarkan keakraban dan kegotongroyongan yakni Pio Bodha ne’e Sipo, Bopo Bodha ne’e Da Dho’o yang bertujuan untuk mendukung kekuatan Ngadhu. Pada bagian lain yakni tepat di belakang Ngadhu akan ditanam juga satu buah batu yang tingginya mencapai satu meter (yang dinamakan Peo) dan fungsinya untuk menyatukan ujud pada saat penyembelihan hewan kurban. Peo diyakini kan menjadi tujuan dari Ngadhu dan Bhaga yang proses pembangunannya disatukan dengan pembangunan Ngadhu. Upacara Mula Ngadhu akan ditutp dengan penyembelihan hewan kurban babi dan ayam sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan leluhur.
• Tau Bhaga
Pembuatan Bhaga atau lambang leluhur perempuan milik suku hampir sama dengan pembuatan rumah adat. Perbedaan antara bhaga dengan rumah adat adalah ukuran Bhaga yang lebih kecil dengan ukiran ular sedangkan ukiran lainnya sama dengan ukiran ada rumah adat. Ukiran sawa/ular menunjukan kewibawaan seorang perempuan yang dapat menjadi model dan contoh bagi anggota suku serta kekayaan yang dimiliki sebagai sarana kemakmuran. Proses pembangunannya sama dengan rumah adat dengan bahan-bahannya adalah papan, alang-alang, bambu, ijuk dan Maghi yang menurut fungsinya sama dengan Sa’o. Bhaga tidak menjadi tempat tinggal hanya sese waktu tempat ini (bhaga) digunakan menjadi tempat upacara adat (Ka Kobo Bhaga) sebagai tempat untuk mempersatukan persembahan dan ujud kepada Yang Maha Kuasa.
• Woe Hoza
Adalah upacara setelah penanaman Ngadhu sebelum pembuatan atap Ngadhu yakni penyembelihan kerbau sebagai tanda berdirinya Ngadhu (pengganti rupa leluhur laki-laki) di tengah kampung. Woe Hoza ini sebagai pertanda terwujudnya kehadiran leluhur di tengah anggota suku (one woe) dalam wujud Ngadhu.
• Tau Ubu Ngadha
Adalah tahapan pembuatan atap Ngadhu sebagai proses paling akhir sebelum upacara Ka Ngadhu. Atap Ngadhu dibuat berbentuk kerucut dengan sudut yang mengarah ke langit yang mana arah sudut ini diyakini sebagai hubungan antara leluhur dan Tuhan yang dalam ungkapan bahasa Bajawa adalah Lobo wi Soi Dewa. Pembuatan atap seperti ini diilhami oleh masyarakat budaya Ngadha bahwa Ngadhu merupakan jembatan perantara hubungan manusia dengan Penguasa Langit dan Bumi. Keyakinan ini terwujud dalam ungkapan bahasa Ngadha Mula Ngadhu Tau Tubo Lizu Kabu Wi Role Nitu Lobo Wi Soi Dewa.
• Ka Ngadhu
Ka Ngadhu merupakan upacara atau pesta syukuran puncak karena Ngadhu (pengganti rupa leluhur laki-laki) sudah selesai dibangun.